Halal Harga Mati

Hasil gambar untuk yang penting halal
Pagi itu Ningsih akan beraktivitas seperti biasa. Ditemani Ibunya, Ningsih akan berjualan nasi uduk dan gorengan dari jam 6 pagi hingga matahari mulai terik. Biasanya mereka membagi tugas. Ibu berjualan semuanya dipinggir jalan besar, sedangkan Ningsih hanya membawa gorengannya saja untuk dijual keliling desa. Ayahnya telah meninggal sejak ia berusia 6 tahun karena kecelakaan motor. Meskipun melelahkan, namun Ningsih tak pernah sekalipun mengeluh, yang ia pikirkan hanyalah satu, “kapan lagi Ningsih bisa bisa bantu ibu. Masa ibu terus yang bantu Ningsih untuk bersekolah ?” ucapnya dalam hati. Begitulah sifat Ningsih. Ikhlas.

Setelah gorengannya habis terjual, Ningsih pun bersandar sejenak dibawah pohon untuk mengusir lelah. Dalam lamunannya, ia tak sengaja berfikir, “Aku ini kan lulusan sarjana kedokteran, masa sekarang hidup Ningsih tiap hari gini-gini saja ? Pokoknya Ningsih harus cari kerja!”. Ningsih langsung berdiri dan melangkahkan kaki dengan cepat untuk memberitahukan keinginannya itu kepada Ibunya.

“Bu… ada yang mau Ningsih omongin ke ibu!” Ningsih bicara dengan begitu semangat sesampainya di rumah.“ Wis wis, sih! Nanti dulu.. gorengannya habis tidak ?” Ibu menenangkan Ningsih dulu dan memastikan dagangan hari ini laku atau tidak. “Alhamdulillah laku, bu.. Oh iya bu, Ningsih besok mau ke Jakarta!” Ningsih berteriak sambil mencengkram tubuh Ibu saking semangatnya.

“Oalah.. kenapa toh tiba-tiba mau ke Jakarta?” Ibu mengernyitkan dahi karena merasa heran dengan keinginan Ningsih yang mendadak. “Ningsih mau cari kerja, bu. Ningsih gak bisa begini terus, apalagi Ningsih lulusan sarjana kedokteran, masa iya Ningsih gabisa dapetin pekerjaan yang lebih menjanjikan ? Boleh ya, bu?” Ujar Ningsih. Senyumnya merekah merayu. Wajahnya begitu takut jika tidak diperbolehkan. Tersirat keinginan yang begitu besar bahwa dengan berbekal riwayat pendidikannya, Ningsih ingin hidup mewah.

Melihat keseriusan Ningsih, Ibu pun tak bisa melarang dan akhirnya memperbolehkan Ningsih untuk mencari kerja di Jakarta. “Yasudah.. asalkan kamu jaga diri yo, nak! Kerja apa saja juga gapapa, asalkan kerjamu itu halal yo!” Ibu mengelus-elus rambut Ningsih. Keesokan paginya, Ningsih pun berangkat ke Jakarta.

Sesampainya di Jakarta, Ningsih tidak tahu harus kemana. Namun karena kelelahan, ia memutuskan untuk mencari rumah kost terlebih dahulu. Setelah mengusir lelah dan malamnya mempersiapkan syarat-syarat untuk lamaran. Esok harinya, ia mulai berkeliling Jakarta untuk mencari kerja. Dari pelosok hingga tengah kota ia tempuh. Namun yang terjadi adalah, Rumah sakit yang ia datangi selalu menolak karyawan baru. Ningsih pun hanya pasrah dan terpaksa menganggur sampai ada lowongan kerja dari rumah sakit tersebut.

2 bulan sudah Ningsih menganggur. Ia belum berani memberi kabar pada Ibu karena malu sampai saat ini belum dapat kerja. Ia merasa gagal membayar kepercayaan ibu yang telah merestui keberangkatannya. Tidak punya pekerjaan namun makan harus tetap jalan, membuat uang Ningsih dari hari ke hari semakin menipis. Hingga akhirnya, Sewa kost Ningsih jadi menunggak. Uangnya tidak cukup lagi untuk membayarnya. Ibu kost semakin hilang kesabaran. Sudah 2 bulan Ningsih tak membayarnya. Terpaksa Ia membentak Ningsih dan menggedor pintu kost nya, lalu mengusir Ningsih secara paksa.

Ningsih terpaksa hidup di jalanan. Ia teringat kata orang-orang di kampung, “Jakarta itu kejam. Cuma orang yang berduit saja yang bisa hidup. Kalo tidak punya duit, ya nyolong.” Namun untung saja kalimat itu hanya terngiang sekilas di benak Ningsih. Ia tiba-tiba teringat pesan Ibu sebelum berangkat ke Jakarta, “Yasudah.. asalkan kamu jaga diri yo, nak! Kerja apa saja juga gapapa, asalkan kerjamu itu halal yo!”. Ningsih pun mengucap istighfar, lalu tersenyum, semangatnya pun kembali datang. Ia tidak mau mengecewakan Ibu nya untuk kedua kali. Lalu Ningsih pergi untuk mencari lowongan kerja lain. Kali ini bukan Rumah sakit besar yang ia datangi, namun puskesmas, apotik, atau apapun yang berbau dengan kedokteran.

Namun di tengah jalan, ia melihat sebuah plang yang terpampang di depan rumah bertuliskan, “Yayasan Asisten Rumah Tangga”. Kemudian disampingnya ada tulisan, “Butuh tambahan tenaga kerja”. Ningsih sempat ragu dengan tawaran ini. "Untuk saat ini, aku memang butuh uang untuk bayar kost-an ku. Tapi ? Apa lulusan dokter seperti ku ujung-ujungnya harus bekerja sebagai asisten rumah tangga ?"  Namun karena Ningsih sudah sangat lapar. Ia tidak bisa memaksakan dirinya harus kerja sesuai pendidikannya. “Baiklah. Ya, memang ini jalan Allah. Apapun itu harus aku terima. Rezeki tidak boleh ditolak.” Ucap Ningsih sambil mengepalkan tangannya. Hatinya sudah yakin untuk menerima pekerjaan ini. Mulai hari ini, Ningsih resmi bekerja sebagai asisten rumah tangga di salah satu rumah mewah di Jakarta.

Setelah sebulan bekerja, Ningsih pun menerima gaji pertamanya. Jumlahnya memang tidak sebesar dokter, tapi ia tetap bersyukur karena dengan gaji ini, ia masih bisa makan dan hidup normal di Jakarta. Suatu hari, Ningsih mendapat kabar buruk dari kerabat dekat di kampung bahwa Ibunya sedang sakit. Ningsih sedih. Ia lalu meminta izin kepada majikannya agar bisa segera menyusul Ibunya ke kampung.

Sesampainya di kampung, Ningsih langsung berlari masuk kedalam rumah untuk memeriksa keadaan Ibu, lalu bertanya,“ Ibu sakit apa ? kenapa bisa gini sih, bu? “ Ningsih memeluk erat ibunya. “ Ibu ndak apa-apa, sih. Ibu cuma kangen kamu… sudah 4 bulan kamu ndak ada kabar, sih. Ibu khawatir…” Ibu menatap Ningsih dengan lemas. “ Maafin ningsih, bu.. Ningsih sibuk banget disana.. Ningsih janji deh selalu ngasih kabar terus lain kali..” Ningsih menggengam tangan Ibu, matanya menatap dengan yakin. Ibu tersenyum. Kemudian sebuah pertanyaan keluar dari mulut Ibu,“ Oh iya, kamu kerja apa toh sih di Jakarta ?” Mendengar pertanyaan itu, Ningsih menghentak-hentakan kaki berulang kali ke lantai karena grogi. Wajahnya seketika berkeringat. Kemudian Ningsih menjawab,“ Bentar bu, Ningsih ke toilet dulu ya!” Ningsih beralasan ke toilet padahal hanya sekedar untuk memikirkan kebohongan apa agar Ibu nya tidak kecewa.

Tanpa sadar, telepon genggam milik Ningsih tertinggal di kasur tempat ibu berbaring. Beberapa menit kemudian, hape nya berbunyi. Karena penasaran, Ibu segera mengambil hape Ningsih dan melihat siapa yang menelpon. Ketika dilihat, di hapenya tertera nama, “Incoming call.. Ibu Majikan”. Seketika itu pula, Ningsih keluar dari kamar mandi, dan terkejut melihat Ibu nya sedang memegang hape miliknya.
Ningsih.. ini ada telepon dari majikanmu…” Panggil Ibu dengan wajah datar.
Melihat wajah ibu, Ningsih merasa takut dan malu karena telah gagal menjadi dokter yang ia janjikan kepada Ibunya sebelum ia berangkat. Ningsih berlutut dan memeluk kaki Ibu sambil menangis dan meminta maaf, “Maafin Ningsih, bu… Ningsih tau Ningsih salah. Ningsih gabisa bikin bangga Ibu… Nyari kerja di Jakarta itu sulit sekali, bu..”

Mendengar ucapan Ningsih, Ibu hanya tersenyum dan berkata, “Iya.. ibu tau kok, sih. Jakarta itu memang kejam. Tapi bukan berarti nyari duit di Jakarta harus dengan cara haram. Kamu harus tau, sih. Pekerjaanmu itu lebih mulia daripada pekerjaan orang-orang di pusat sana! Yang kerjanya cuma membodohi dan makan uang rakyat! Ibu selalu bangga sama kamu, sih.”

Ucapan Ibu membuat Ningsih terharu. Matanya berkaca-kaca. Dan mereka pun berpelukan…

Air mata bahagia juga mengalir di wajah ibu. Baginya, sukses bukan diukur dari seberapa banyak harta yang kita miliki, tapi seberapa berkah harta yang kita dapatkan. Meskipun pekerjaan Ningsih bagi sebagian orang adalah pekerjaan yang sering diremehkan. Namun bagi Ibu, rasa bangga nya pada Ningsih atas usahanya mencari pekerjaan yang halal meskipun dalam kondisi sulit itu sudah jauh lebih besar dari suara-suara negatif mereka yang hanya memakai mulutnya untuk menilai kehidupan orang lain diluar sana. 

Comments